ควารรับผิดชอบที่สามารถตรวจสอบได้


accountability in public service

AKUNTABILITAS PELAYANAN PUBLIK PADA

KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN DEPOK

KABUPATEN SLEMAN, YOGYAKARTA

REPUBLIK INDONESIA

 

Accountability in Public Service in the Religious Affairs Office of

Depok Sub district, Sleman, Yogyakarta, Indonesia

 

Mada-o  Puteh[1], Agus  Pramusinto[2] dan Ratminto[3]

 

 

ABSTRACT

 

Public bureaucracy in Indonesia faces a complex multidimensional problem characterized by a phenomenon of bureaucratic pathology such as the illegal collection of fund, corruption, collusion, proceduralism, and patrimonialism that originate from many aspects of the Indonesian community. One such performance dimension is accountability.

This research want to know the condition of accountability in public service delivery in the Religious Affairs Office of Depok Sub district, Sleman and the factors that affect it. Accountability is a standard indicator of the extent of adjusted service implementation based on measurement values or external society norms. The factors that affect accountability in public service delivery are those factors that impede accountability in public service delivery. It consists of service ethics, paternalistic culture, and public control. This research is a descriptive qualitative while the data collection method used is the interview, questionnaire, observation, and documentation study.

Regarding marriage related services and marriage certificates, accountability in public service delivery are still wanting as seen in the Religious Affairs Office of Depok sub district, Sleman. This matter can be seen from legal accountability where service not fully following regulation which go into effect when related to tariff/ expens, the service providers especially in marriage fees which is higher than the officially stated fees and absence of public control over service providers. As for giving of solution to problems that does not uphold the public interests. All the requirements must be fulfilled before services are obtainable. Incase of a missing requirement, the customer is told to come the next day. while professional accountability have enough nicely where organizational resource concentration to the activity of service. If pertinent officer no hence will be assisted by other officer.

 

Key words: Accountability, Public Service, Religious Affairs Office

 

 

 

PENGANTAR

Latar Belakang Masalah

Keberadaan akuntabilitas sebagai suatu sistem sudah cukup lama, karena sejarah akuntabilitas sudah dimulai sejak jaman Mesopotamia pada tahun 4000 SM, dimana pada saat itu sudah dikenal adanya Hukum Hammurabi yang mewajibkan seseorang (raja) untuk mempertanggungjawabkan segala tindakan-tindakannya kepada pihak yang memberi wewenang atau wangsit kepadanya (LAN & BPKP, 2000: 21). Sedangkan Dunn (2000: 53) menyatakan Kode Hammurabi, ditulis oleh penguasa Babilonia pada abad 18 sebelum Masehi, mengekspresikan keinginan untuk membentuk ketertiban publik yang bersatu dan adil pada masa ketika Babilonia mengalami transisi dari negara kota kecil menjadi negara wilayah yang luas. Kode Hummarabi, yang memiliki kesamaan dengan hukum Musa, mencantumkan persyaratan-persyaratan ekonomi dan sosial untuk suatu permukiman urban yang stabil di mana hak dan tanggungjawab didefinisikan menurut posisi sosial. Kode mencakup prosedur kriminal, hak milik, perdagangan, hubungan keluarga dan perkawinan, dana kesehatan, dan apa yang dikenal sekarang akuntabilitas publik. 

Setiap warga negara tidak akan pernah bisa menghindar dari berhubungan dengan birokrasi pemerintah. Pada saat yang sama, birokrasi pemerintah adalah satu-satunya organisasi yang memiliki legitimasi untuk memaksakan berbagai peraturan dan kebijakan menyangkut masyarakat dan setiap warga negara. Itulah sebabnya pelayanan yang diberikan oleh birokrasi pemerintah menuntut tanggungjawab moral yang tinggi. Pelayanan yang diberikan oleh birokrasi pemerintah, kualitasnya cenderung lemah sehingga semua orang mau tidak mau harus menerima apa adanya.  Terlebih lagi dalam budaya masyarakat yang paternalistik, kedudukan para pejabat birokrasi dalam masyarakat seringkali dipersepsikan jauh lebih tinggi di atas kedudukan warga pada umumnya. Akibatnya, para pejabat birokrasi bukannya melayani warga dengan baik tetapi justru sebaliknya, berharap memperoleh pelayanan dari warga (Dwiyanto, 2005: 375-376). Sedangkan menurut  Niels (dalam Kusumasari, 2005; 89), budaya birokrasi di indonesia banyak mengadopsi budaya Jawa yang hierarkhis, tertutup, sentralistis, dan mempunyai nilai untuk menempatkan pimpinan sebagai pihak yang harus dihormati. Dari beberapa pandangan budaya yang sedikit keliru ini, dapat membawa kepada penyimpangan tugas dan layanan yang sepatutnya diberikan kepada pelanggan atau masyarakat. Selain itu karena selama ini birokrasi diidentikkan dengan kinerja yang belit-belit, struktur yang tambun, penuh dengan kolusi, korupsi dan nepotisme, serta tak ada standar yang pasti (Sutiono & Sulistiyani, 2004: 1). Akibatnya sikap dan prilaku birokrasi dalam penyelenggaraan.

Salah satu faktor yang harus ada agar dapat diselenggarakan pelayanan yang berkualitas yaitu kesadaran moral aparat sebagai abdi masyarakat dengan mempelajari budaya organisasi publik atau budaya pelayanan  yang berorientasi kepada kepentingan pelanggan bukan lebih mementingkan kepentingan pimpinan. Perilaku yang buruk dari birokrasi pemerintah sering muncul karena mempunyai mindset yang salah, yang mendorong para pejabat melakukan tindakan yang tidak sesuai. Untuk membangun budaya baru dalam birokrasi maka pemerintah dapat menggali nilai-nilai dan tradisi yang dianggap baik dari praktek pemerintah sebelumnya kemudian mentransfernya dalam kehidupan birokrasi pemerintah sekarang yang lebih baik. Selain itu pemerintah juga dapat belajar dari best practices yang ada di negara-negara lain, yang dapat dipelajari dan ditiru, untuk dikembangkan dalam birokrasi pemerintah yang lebih unggul.

Pelayanan Kantor Urusan Agama khususnya pada urusan perkawinan dimana perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa seperti tercantum dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pada bab I, Dasar Perkawinan disebutkan; Pasal 2; (1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan (2). Tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undang yang berlaku. Untuk kelancaran pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dipandang perlu untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur ketentuan-ketentuan pelaksanaan Undang-undang tersebut, dimana terdapat juga penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada umumnya adalah untuk melaksanakan Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 secara efektif masih diperlukan peraturan-peraturan pelaksanaan antara lain yang menyangkut masalah pencatatan perkawinan, tata cara pelaksanaan perkawinan, tata cara perceraian, cara mengajukan gugatan perceraian, tenggang waktu bagi wanita yang mengalami putus perkawinan, pembatalan perkawinan dan ketentuan dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang dan sebagainya. Peraturan Pemerintah ini memuat ketentuan-ketentuan tentang masalah-masalah tersebut, yang diharapkan akan dapat memperlancar dan mengamankan pelaksanaan dari Undang-undang tersebut.

Pelayanan administratif di bidang akta nikah khususnya di Kantor Urusan Agama Kecamatan, berperan cukup besar karena Indonesia sebagai negara mayoritas muslim terbesar di dunia. Dalam dasar-dasar perkawinan menyatakan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Perkawinan juga bertujuan menghindari diri dari fitnah antara satu sama lain, sehingga dalam pelaksanaannya perlu ada wali dan saksi. Selain itu agar tidak terjadi kekhilafan/kesalahpahaman, maka perkawinan harus dicatat. Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah atau Kepenghuluan. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya, bagi yang Muslim pencatatan akta nikah dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.

Adapun tugas pencatatan akta nikah adalah tugas Kantor Urusan Agama di setiap Kecamatan, dimana dalam pelaksanaan dan pelayanannya harus miningkatkan mutu pelayanan sehingga tidak terjadi penyimpangan bagi pelanggan seperti senang kawin siri dibanding mengurus akta nikah yang prosedurnya berbelit-belit dan tarifnya pun tidak jelas pula. Dalam hal pencatatan akte nikah ini, di negara peneliti (Thailand) terdapat sedikit berbeda dimana setiap calon pengantin akan dilayani akad nikah dan pencatatan nikah oleh masing-masing Imam Masjid yang telah dilatik oleh Majlis Agama Islam di setiap propinsi. Setiap Imam Masjid secara langsung sebagai penghulu dalam hal akad nikah dan melakukan pencatatan akta nikah dengan dibantu oleh Khotib dan Bilal atau yang diwakili. Akta nikah tersebut kemudian diserahkan ke kantor Majlis Agama Islam Propinsi. Prosedurnya sangat sederhana, tidak perlu mengurus ijin dari RT/RW karena informasi calon pengantin sudah diketahui oleh imam di masing-masing daerah.

Tentang biaya pencatatan nikah atau tarif yang harus dibayar, dalam buku Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN) (2003: 16) telah menentukan biaya pencatat nikah, dengan tarip dimana tercamtum bahwa Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun 2000 tanggal 1 Juli 2000 menyebutkan bahwa biaya pencatatan nikah di KUA Kecamatan sebesar Rp. 30.000 (tiga puluh ribu rupiah), namun pada prakteknya lain. Terdapat banyak sekali informasi tentang kawin siri di Indonesia khususnya di media massa seperti di internet misalnya pada pernyataan ini “Dengan menikah di bawah tangan, ikatan suami istri seseorang tidak diakui oleh negara, sehingga mereka tidak berhak mengantongi surat nikah. Pernikahan massal merupakan fenomena kaum miskin yang semakin terpinggirkan oleh mahalnya biaya birokrasi”. Mereka bukan tidak ingin menikah secara sah, baik dari sisi agama maupun negara. Akan tetapi, kemampuan kantong mereka terbatas. Kondisi ini berbahaya bagi kelangsungan hidup mereka sebagai warga negara (http://www.kompas.com/kompas-cetak/0603/25/Jabar/ 764.htm). Cerita yang lain,  kasus perkawinan Tommy dan Devi, Seperti lazimnya semua urusan di Indonesia, proses pengurusan surat keterangan nikah untuk aku (Tommy) dan Devi kemarin juga tak luput dari adanya berbagai pungutan tak resmi, mulai dari pengurusan berkas-berkas di kelurahan, kecamatan, dan juga di KUA. Dan sepertinya kalau diingat-ingat lagi, kok sepertinya hanya pengurusan di tingkat RT dan RW saja yang gratis. Ini perinciannya, (pengeluaran Devi di Semarang dan aku (Tommy) di Jakarta) Pengeluaran bagi Devi, di Kelurahan sebesar Rp 40.000, kecamatan sebesar Rp 10.000 dan KUA sebesar Rp 75.000 Total Rp 125.000. dan pengeluaran bagi Tommy, di Kelurahan sebesar Rp 25.000, kecamatan sebesar Rp 25.000 dan KUA sebesar Rp 50.000 Total Rp 100.000.  Kalau begini caranya… aku jadi memahami kenapa banyak sekali orang yang lebih memilih nikah siri atau nikah dibawah tangan karena ternyata menikah secara resmi di Indonesia itu memakan biaya yang cukup banyak akibat berbagai pungutan tak resmi semacam ini (http://www.modestmind.com /2006/04/21/ pungutan-tak-resmi/). Dari beberapa kasus diatas terdapat banyak alasan kenapa terjadinya nikah siri (perkawinan bawah tangan tanpa akta nikah) sedangkan syarat yang lain menurut agama telah memenuhi. Alasannya antara lain, biaya administrasi yang mahal, prosedur berbelit-belit atau untuk menghindari dari hukum khususnya bagi pegawai negeri dan ABRI.

Bertolak dari peran dan fungsi Kantor Urusan Agama sebagai pencatat perkawinan khususnya bagi umat Muslim sehingga status perkawinan telah sah di mata agama dan mata negara. Di dalam penelitian ini yang dianalisa adalah akuntabilitas pelayanan publik pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Bagaimana akuntabilitas pelayanan publik dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi akuntabilitas pelayanan publik pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Depok, Sleman?

 

LANDASAN TEORI

Mengkaji mengenai akuntabilitas pelayanan publik pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Depok Kabupaten Sleman, Yogyakarta yang merupakan unsur pelaksanaan tehnik pelayanan publik di bidang pernikahan dan akta nekah. Untuk menjelaskan akuntabilitas pelayanan publik, maka konsep yang dianggap relevan untuk menelaah fokus masalah adalah konsep akuntabilitas, konsep pelayanan publik, dan faktor-faktor yang mempengaruhi akuntabilitas pelayanan publik.

 

Konsep Akuntabilitas

Menurut Oxford Advanced learn’s Dictionary (1995: 9), akuntabilitas diartikan sebagai “required or expected to give an explanation for one’s action”. Akuntabilitas diperlukan atau diharapkan untuk memberikan penjelasan atas apa yang telah dilakukan. Akuntabilitas pada dasarnya hubungan kekuasaan dimana penerima kuasa wajib memberikan keterangan atau pertanggungjawaban kepada pemberi kuasa terhadap tindakan atau kebijakan yang ditempuh dalam melaksanakan kekuasaan tersebut (Jabbra & Dwivedi, 1989: 5). Sedangkan Kumorotomo (2005: 4) mendefinisikan Akuntabilitas sebagai  ukuran yang  menunjukan apakah aktivitas birokrasi publik atau pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah sudah sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang dianut oleh rakyat dan apakah pelayanan publik tersebut mampu mengakomodasi kebutuhan rakyat yang sesungguhnya. Dengan demikian akuntabilitas terkait dengan falsafah bahwa lembaga eksekutif pemerintah yang tugas utamanya adalah melayani rakyat harus bertanggungjawab secara langsung maupun tidak langsung kepada rakyat.

Romzek dan Dubnick yang dikutip Kearns (dalam Nasucha, 2004: 26) mengatakan bahwa akuntabilitas dapat diartikan bagaimana agensi publik dan pegawainya mengelola harapan-harapan yang banyak muncul, baik dari dalam maupun dari luar organisasi. Terminologi akuntabilitas biasanya digunakan untuk mewujudkan harapan-harapan dan standar kinerja yang digunakan untuk menilai/menentukan kinerja, daya tanggap atau bahkan moral dari organisasi pemerintah. Turner dan Hulme (dalam Mardiasmo, 2005: 21), akuntabilitas merupakan konsep yang kompleks yang lebih sulit mewujudkannya daripada memberantas korupsi. Terwujudnya akuntabilitas merupakan tujuan utama dari reformasi sektor publik. Tuntutan akuntabilitas publik mengharuskan lembaga-lembaga sektor publik untuk lebih menekankan pada pertanggungjawaban horizontal bukan hanya pertanggungjawaban vertikal. Tuntutan yang kemudian muncul adalah perlunya dibuat laporan keuangan eksternal yang dapat menggambarkan kinerja lembaga sektor publik. Sedangkan Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (2000: 43), akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau berkewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban tersebut dimana Hughes (dalam Widodo, 2001: 147) menegaskan bahwa “goverment organization are created by the public, for the public and need to be accountable to it”. Organisasi pemerintah dibuat oleh publik dan untuk publik, karenanya perlu mempertanggungjawabkannya kepada publik.

Dari beberapa pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa akuntabilitas sebagai kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui media pertanggungjawaban secara priodik.

 

Konsep Pelayanan Publik:

Ada berbagai macam definisi pelayanan, namun yang sangat simpel seperti definisi yang telah diberikan oleh Ivancevich, Lorenzi, Skinner dan Crosby, (dalam Ratminto & Winarsih, 2005: 2), pelayanan adalah produk-produk yang tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang melibatkan usaha-usaha manusia dan menggunakan peralatan. Sedangkan definisi yang lebih rinci diberikan oleh Gronroos bahwa, pelayanan adalah suatu aktivitas atau serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksudkan untuk memecahkan permasalahan konsumen/pelanggan (Ratminto & Winarsih, 2005: 2). Dari dua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri pokok pelayanan adalah tidak kasat mata (tidak dapat diraba) dan melibatkan upaya manusia (karyawan) atau peralatan lain yang disediakan oleh perusahaan penyelenggara pelayanan.

Pelayanan adalah suatu proses bantuan kepada orang lain dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal agar terciptanya kepuasan dan keberhasilan. Setiap pelayanan menghasilkan (produk), baik berupa barang ataupun jasa. Hasil pelayanan berupa jasa tidak dapat diinventarisasi, tidak dapat ditumpuk atau digudangkan, melainkan hasil tersebut diserahkan secara langsung kepada pelanggan atau konsumen. Dalam hal pelayanan diberikan dengan tidak optimal maka pelayanan tidak dapat diulangi, karena pelayanan diberikan secara langsung kepada pelanggan (Boediono, 2003: 60).

Di Indonesia, konsepsi pelayanan administrasi pemerintahan seringkali dipergunakan secara bersama-sama atau dipakai sebagai sinonim dari konsepsi pelayanan perijinan dan pelayanan umum, serta pelayanan publik. Keempat istilah tersebut dipakai sebagai terjemahan dari public service. Namun Ratminto & Winarsih (2005: 4) menyatakan pelayanan umum lebih sesuai jika dipakai untuk menerjemahkan konsep public service. Istilah pelayanan umum ini dapat disejajarkan atau dipadankan dengan istilah pelayanan publik.

 

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Akuntabilitas Pelayanan Publik

Dalam meningkatkan kualitas pelayanan sebagai upaya untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan oleh pemerintah, maka unsur-unsur tersebut diatas dapat dilaksanakan oleh aparatur pemerintah dengan menjunjung nilai-nilai pengabdian, kejujuran dan keterbukaan pada masyarakat. Selain itu pelayanan publik yang berkualitas mempunyai arti yang penting apabila pemberian pelayanan yang dilakukan secara sederhana, mudah dan dilakukan secara wajar dan profesional.

Untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, menurut Thoha (dalam Widodo, 2001: 273) organisasi publik harus mengubah posisi dan peran dalam memberikan layanan publik. Dari yang suka mengatur dan memerintah berubah menjadi suka melayani, dari yang suka menggunakan pendekatan kekuasaan, berubah menjadi suka menolong menuju ke arah yang fleksibel kolaburasi dan dialogis, dan dari cara-cara yang sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik pragmatis. Melalui perubahan posisi dan peran birokrasi publik maka pelayanan publik yang baik dan profesional akan dapat diwujudkan. Pelayanan masyarakat dapat dikatakan baik manakala masyarakat dapat dengan mudah mendapatkan pelayanan dengan prosedur yang tidak panjang, biaya murah, waktu cepat, dan masyarakat sedikit atau hampir tidak ada keluhan yang diberikan kepadanya.

Akuntabilitas merupakan fenomena sosial yang terjadi di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat. Ia merupakan produk dari interaksi sosial manusia dalam kehidupan organisasi dan masyarakat sehingga keberadaannya sangat berpengaruh oleh faktor-faktor pembentuk interaksi tersebut sebagai bagian dari kinerja organisasi. Faktor-faktor tersebut seperti; kewenangan diskresi, orientasi terhadap perubahan, budaya paternalisme, etika pelayanan, sistem insentif, semangat kerja sama (Dwiyanto dkk, 2006), sistem kultur atau budaya yang sudah tertanam selama puluhan tahun, bahkan akar permasalahannya mungkin dapat ditemukan sejak sistem pemerintahan kolonial Belanda (Kumorotomo, 2005: 120), sistem insentif, sistem pertanggungjawabannya, dan  struktur kekuasaannya, (Osborne & Plastrik, 2001: 49), informasi yang relevan dan reliabel (Sulistiyani & Rosidah, 2003: 224), monitoring dan insentif (LAN dan BPKP, 2000). Sedangkan Bryson (2005: 227) mengemukakan faktor yang mempengaruhi kinerja suatu organisasi dalam melaksanakan pekerjaan adalah faktor yang bersifat internal dan eksternal.

Metode Penelitian

Desain penelitian ini adalah deskriptif yang bertujuan untuk memperoleh gambaran secara sistematik, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta serta hubungannya antar fakta. Selain itu juga akan menitikberatkan pada penggunaan metode kualitatif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati. Dalam penelitian ini pihak yang dijadikan sumber data adalah pejabat yang dianggap mempunyai informasi kunci (key informan), dimana pejabat yang menduduki jabatan struktural serta beberapa staf pelaksana yang merupakan sumber data internal, sedangkan sumber data yang bersifat eksternal adalah masyarakat yang sedang berurusan pada Kantor Urusan Agama Depok, Sleman Yogyakarta. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini melalui wawancara, observasi, dan studi pustaka/dokumentasi.

Definisi Konseptual

Definisi Konseptual yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep akuntabilitas, etika pelayanan, budaya paternalisme dan kontrol publik sebagai berikut;

a.       Akuntabilitas yaitu suatu ukuran yang menunjukan seberapa besar tingtkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran nilai-nilai atau norma eksternal yang ada di masyarakat. Nilai dan norma pelayanan yang berkembang dalam masyarakat tersebut diantaranya meliputi transparansi pelayanan, prinsip keadilan, jaminan penegakan hukum, hak asasi manusia, dan orientasi pelayanan yang dikembangkan terhadap masyarakat pengguna jasa.

b.      Etika Pelayanan yaitu  suatu sikap, tindakan dan perilaku yang ditunjukkan oleh aparat dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat pencari layanan.

c. Budaya Paternalisme yaitu suatu sistem yang menunjukkan pola  hubungan/interaksi yang asimetris antara pejabat birokrasi dengan bawahan dan masyarkat dalam kehidupan organisasi dan bermasyarakat.

d.   Kontrol Publik yaitu suatu kegiatan yang dilakukan untuk mengawasi atau mengendalikan perilaku birokrasi penyelenggara pelayanan publik, agar pelayanan publik yang diselenggarakan sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang ada dan berkembang di masyarakat.

 

ANALISIS  DATA

Untuk mengetahui akuntabilitas penyelenggaraan pelayanan publik tersebut, peneliti menggunakan indikator-indikator kinerja yang meliputi: 1) acuan pelayanan yang dipergunakan aparat birokrasi dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik; 2) solusi atau tindakan yang dilakukan oleh aparat birokrasi apabila terdapat masyarakat pengguna jasa yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan; dan 3) dalam menjalankan tugas pelayanan, seberapa jauh kepentingan pengguna jasa memperoleh prioritas dari aparat birokrasi. Hasil pengkajian terhadap ketiga indikator tersebut sebagai berikut:

1. Acuan, acuan utama dalam penyelenggaraan pelayanan publik tersebut selalu berorientasi kepada masyarakat pengguna jasa. Temuan di lapangan menunjukkan bahwa untuk pelayanan pernikahan dan Akta Nikah, acuan penyelenggaraan pelayanan publik di KUA Kecamatan Depok Sleman adalah berdasarkan pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 477 Tahun 2004, Tentang Pencatatan Nikah. Dalam pelaksanaannya peraturan atau acuan tersebut ternyata pegawai birokrasi harus benar-benar mengaju kepada peraturan atau pedoman yang ada. Jika persyaratan tidak lengkap maka pelayanannya tidak dapat dilaksanakan sehingga kadang-kadang membuat masyarakat pengguna jasa kurang memuaskan. Namun jika berkaitan dengan biaya pelayanan, berbagai aturan dan ketentuan formal tersebut seolah-olah tidak dihiraukan oleh birokrasi seperti untuk biaya pernikahan dimana di papan pengumuman telah menetapkan bahwa jika dilaksanakan pernikahan di Balai KUA maka harus membayar sebesar Rp 70.000, tapi pada kenyataannya harus membayar lebih tinggi dari itu.

Indikator lain yang dapat digunakan untuk melihat acuan penyelenggaraan pelayanan publik adalah tindakan petugas pelayanan terhadap masyarakat pengguna jasa yang tidak memenuhi persyaratan pelayanan. Ada beberapa persyaratan pelayanan yang harus dipenuhi oleh pengguna jasa untuk mendapatkan pelayanan. Ketiadaan salah satu persyaratan tersebut dapat menyebabkan kegagalan pelayanan.

2. Solusi, observasi dilapangan jika pengguna jasa menghadapi kesulitan, solusi yang diberikan oleh aparat pelayanan KUA Kecamatan Depok sebagian besar berupa tindakan memberikan informasi yang dibutuhkan oleh pengguna jasa, baru kemudian solusi berusaha membantu. Untuk urusan pernikahan dan akta nikah yang persyaratannya kurang lengkap, maka pengguna jasa harus dilengkapi terlebih dahulu sebelum hari H (hari akad nikah). Pemberian solusi demikian menunjukkan bahwa aparat birokrasi belum sepenuhnya memahami eksistensinya dengan benar, dimana jika persyaratan tersebut belum lengkap sebelum hari H maka acara akad nikah tidak dapat dilaksanakan, pada hal dapat menggunakan kebijakannya untuk  menyusul kemudian hari.

3. Prioritas Pemenuhan Kepentingan Pengguna Jasa, berbagai sumber daya yang dimiliki organisasi harus dicurahkan dan diprioritaskan untuk memenuhi kepentingan masyarakat pengguna jasa. Dengan memberikan prioritas pada pemenuhan kepentingan masyarakat pengguna jasa di atas kepentingan yang lain, berarti birokrasi memberikan penghargaan kepada eksistensi masyarakat sebagai  pengguna jasa. Berdasarkan observasi, dalam penyelenggaraan pelayanan publik di KUA Kecamatan Depok prioritas pemenuhan kepentingan/kebutuhan masyarakat sudah dapat direalisasikan. Berbagai sumber daya organisasi dikonsentrasikan untuk kepentingan tugas pelayanan, dimana jika aparat/kepenghuluan yang terkait ada tugas (melakukan akad nikah) di luar maupun di balai nikah KUA. Jika terdapat pengguna jasa yang berurusan, maka akan dibantu dan dilayani oleh petugas-petugas yang lain sehingga tidak terjadi penungguan yang lama.

 

 

Faktor-faktor yang mempengaruhi Akuntabilitas Pelayanan Publik

 di KUA Depok Sleman, Yogyakarta, Indonesia

1. Etika Pelayanan, Etika dalam penyelenggaraan pelayanan publik dapat dilihat dari sudut apakah seorang aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat merasa punya komitmen untuk menghargai hak-hak dari konsumen untuk mendapatkan pelayanan secara transparan, efisien, dan adanya jaminan kepastian pelayanan. Perilaku aparat birokrasi yang memiliki etika dapat tercermin pada sikap sopan dan keramahan dalam menghadapi masyarakat pengguna jasa.  Hasil observasi menunjukkan sapaan kepada pengguna jasa biasanya diberikan oleh petugas kepada setiap pengguna jasa yang  berurusan. Hal ini menunjukkan bahwa etika pelayanan aparat birokrasi di KUA Kecamatan Depok cukup bagus, tidak memilih pengguna jasa yang telah mereka kenal, seperti tokoh masyarakat, perangkat desa, aparat birokrasi lainnya yang sedang membutuhkan pelayanan, atau pengguna jasa yang status sosial ekonominya menunjukkan sebagai orang kaya, dan sebagainya.

            2. Budaya Paternalisme, hasil observasi di lapangan, penggunaan atribut atau simbul yang menunjukkan jabatan seperti pakaian dinas dan sebagainya tidak nampak, oleh karena itu budaya paternalistik tidak begitu menonjol sehingga masyarakat penerima jasa layanan tidak begitu segan dan takut untuk menghadapi jika terjadi sesuatu masalah. Jadi budaya yang dianut oleh KUA kecamatan Depok ini cenderung bersifat kekeluargaan dan perkawanan sehingga masyarakat tidak takut untuk menghadapi jika terjadi hal-hal yang tidak diperkenankan.   

            3. Kontrol Publik, temuan di lapangan menunjukkan bahwa kontrol publik terhadap penyelenggaraan pelayanan publik belum menjadikan tradisi dalam masyarakat khususnya dalam pelayanan pernikahan dan akta nikah di KUA Kecamat depok. Sebagian masyarakat menganggap bahwa kontrol terhadap pelayanan publik bukanlah merupakan kewajiban masyarakat akan tetapi merupakan kewajiban lembaga kontrol yang telah ada.

 

Kesimpulan

    Dari pembahasan yang telah diuraikan di depan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

  1. Akuntabilitas penyelenggaraan pelayanan publik di Kantor Urusan Agama Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman masih dalam kondisi buruk. Hal ini terdapat dari berbagai indikatornya yaitu penggunaan acuan pelayanan yang tidak konsisten, prioritas atau orientasi pelayanan bukan pada kepentingan publik, dan pemberian solusi hanya bersifat pemberitahuan kekurangan persyaratan yang harus dilengkapi, karena jika persyaratan belum dilengkapi maka pelayanan tidak dapat dilaksanakan. Tidak ada kebijakan lain sehingga kadang menyebabkan ketidakpuasan bagi masyarakat pengguna jasa.
  2. Masih buruknya kondisi akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik di Kantor Urusan Agama Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman tersebut disebabkan dari tarif/biaya administrasi yang ditarik, tidak jelas dan bersifat menguntungkan petugas. Etika pelayanan yang baik belum memiliki oleh petugas sehingga masyarakat pengguna jasa merasa dirugikan, tidak ada ketransapanan dalam pelayanan.
  3. Belum berfungsinya kontrol masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanan publik mengakibatkan pelayanan yang diselenggarakan oleh birokrasi sering kali mengabaikan nilai-nilai dan norma-norma yang ada dan berkembang dalam masyarakat.

 

B.  Saran

            Dengan memperhatikan temuan-temuan ini, masalah yang dihadapi oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Depok Kabupaten Sleman dalam upaya memperbaiki akuntabilitas penyelenggaraan pelayanan publik di Kantor Urusan Agama Kecamatan Depok Kabupaten Sleman cukup kompleks dan multidimensi. Upaya memperbaiki akuntabilitas menuntut intervensi Kantor Wilayah Departemen Agama Kabupaten Sleman dan Kantor Urusan Agama Kecamatan Depok pada semua dimensi permasalahan secara keseluruhan, yaitu:

  1. Meningkatkan pengawasan terhadap etika aparat dan memberikan sanksi (punishment) kepada aparat yang melanggar etika pelayanan dalam bentuk teguran/peringatan, penundaan atau penurunan pangkat, atau pemecatan. Memberikan hadiah (reward) kepada aparat yang melaksanakan etika pelayanan dengan baik dalam bentuk penghargaan, baik dalam bentuk materi, maupun non materi.
  2. Agar lebih transparan dalam hal tarif atau biaya administrasi, selain pengumuman tarif menurut Surat Gubernur DIY Nomor 474.2/0909 tanggal 12 Maret 2003 yang telah terpasang di dinding, juga harus mengumumkan jumlah tarif yang telah sepakat  bersama dari setiap KUA yang ada di Kebupaten Sleman, bahwa tarif yang akan ditarik dalam jumlah berapa? sehingga dapat dimaklumkan bersama oleh masyarakat pengguna jasa.
  3. Agar kontrol publik berfungsi dengan baik, perlu kiranya dirumuskan aturan tentang kewajiban yang harus dipenuhi oleh penyedia jasa dan pengguna jasa dan hak yang dimiliki oleh penyedia jasa dan pengguna jasa serta tata cara penyelesaian terhadap pelanggaran kewajiban dan hak tersebut.

 

DAFTAR PUSTAKA

Boediono, B., 2003, Pelayanan Prima Perpajakan, Jakarta : Rineka Cipta.

Bryson, John M., 2005, Perencanaan Strategis Bagi Organisasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Departemen Agama RI, 2003, Pedoman Pegawai Pencatatan Nikah (PPN), Jakarta: Depag RI.

Dunn, William N., 2000, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisi Kedua, Yogyakarta: Gadja Mada University Press.

Dwiyanto, Agus, 2005, Strategi Melakukan Reformasi Birokrasi Pemerintah di Indonesia, (Editor Agus Dwiyanto) dalam buku: Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Dwiyanto, Agus, dkk., 2006, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada.

Hornby, A S, 1995, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Fifth Edition, (Editor Jonathan Crowther et.  al),  England: Oxford University Press.

Jabbra, Joseph G. & Dwivedi, O.P., 1989, Public Service Accountability: A Comparative Perspective, USA: Kumarian Press, Inc.

Kumorotomo, Wahyudi, 2005, Pelayanan Yang Akuntabel Dan Bebas Dari KKN, (Editor Agus Dwiyanto) dalam buku: Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Kusumasari, Bevaola, 2005, Kontrak Pelayanan Dalam Reformasi Pelayanan Publik di Indonesia, (Editor, Purwanto& Kumorotomo), Yogyakarta: Gava Media.

Lembaga Administrasi Negara, 2003, Penyusunan Standar Pelayanan Publik, Jakarta: Lembaga Administrasi Negara.

Lembaga Administrasi Negara & Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan, 2000, Akuntabilitas dan Good Governance, Modul, Sosialisasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, Jakarta: Lembaga Administrasi Negara.

Mardiasmo, 2005, Akuntansi Sektor Publik, Yogyakarta: Penerbit Andi.

Nasucha, Chaizi, 2004, Reformasi Administrasi Publik : Teori dan Praktik, Jakarta: Grasindo.

Osborne, David & Plastrik, Peter, 2001, Memangkas Birokrasi, Lima strategi Menuju Pemerintahan  Wirausaha, (Terjemahan), Jakarta; Pustaka Binaman Pressindo.

Ratminto & Winarsih, Atik Septi, 2005, Manajemen Pelayanan: Pengembangan Model Konseptual, Penerapan Citizen’s Charter dan Standar Pelayanan Minimal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sulistiyani, Ambar Teguh & Rosidah, 2003, Manajemen Sumber Daya Manusia: Konsep, Teori dan Pengembangan dalam Konteks Organisasi Publik, Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sutiono, Agus & Sulistiyani, Ambar Teguh, 2004, Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur Pemerintah Dalam Birokrasi Publik di Indonesia, (Editor Ambar Teguh Sulistiyani) dalam buku: Memahami Good Governance Dalam perspektif Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: Gava Media.

Widodo, Joko, 2001, Good Governance Telaah dari Dimensi: Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Surabaya : Insan Cendekia.

 

Internet:

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0603/25/Jabar/764.htm

http://www.modestmind.com /2006/04/21/pungutan-tak-resmi/

คำสำคัญ (Tags): #บริหารวิชาการ
หมายเลขบันทึก: 170986เขียนเมื่อ 15 มีนาคม 2008 11:40 น. ()แก้ไขเมื่อ 11 มิถุนายน 2012 17:00 น. ()สัญญาอนุญาต: จำนวนที่อ่านจำนวนที่อ่าน:


ความเห็น (0)

ไม่มีความเห็น

พบปัญหาการใช้งานกรุณาแจ้ง LINE ID @gotoknow
ClassStart
ระบบจัดการการเรียนการสอนผ่านอินเทอร์เน็ต
ทั้งเว็บทั้งแอปใช้งานฟรี
ClassStart Books
โครงการหนังสือจากคลาสสตาร์ท